Senin, 15 Januari 2018

Cerita Rakyat

LEGENDA KOTA TEBET



 

Di sebuah kampung kecil yang masih termasuk daerah Betawi, tinggallah seorang janda dengan seorang putra kesayangannya. Sebenarnya anak itu sangat sayang pada emaknya, tetapi malasnya teramat sangat sehingga seringkali membuat emaknya kesal.




“Ki! Juki! bangun dong! jangan tidur melulu! Lihat tuh matahari sudah tinggi banget. Udah terang, Juki!” teriak Emak Jenab sambil memburu ke arah dipan, tetapi Marjuki tak juga bergeming oleh panggilan emaknya.

Emak Jenab gak sabaran melihat anak semata wayangnya yang tak kunjung bangun. Emak Jenab tak kehabisan akal, ia segera membalikkan badan, beringsut dengan cepat sambil kedua tangan menjumput kain sarung yang kusam dikenakannya. Emak Jenab berjalan ke arah sumur dan kembali ke kamar Marjuki dengan membawa wadah yang telah berisi air. Dicipratkan air ke arah muka Marjuki berkali-kali. Gelagapan Marjuki dibuatnya.
“Apphh…Tolong…appphh..toolongg…tolooolonng!!” teriak Marjuki  sambil megap-megap mulutnya dan tangannya sibuk menyeka wajahnya.
Namun, Marjuki juga tak bergeming. Ia kembali tertidur.
Emak Jenab sudah habis kesabarannya, diambilnya guling dekat tubuh Marjuki, dipukulkannya ke badan Marjuki berkali-kali.
“Bangun, Juki!!! tulungin emak!   Emang lu kagak laper, tidurrrrr melulu. Emak mau masak, kayu bakar di dapur kite  udah hampir habis.  Cuma cukup buat sekarang aje, sedangkan untuk besok pagi dah kagak ada. Lu tulung cariin kayu bakar di hutan!” pinta emak Jenab nyerocos tiada hentinya kayak petasan merecon. 
“Emak… Emakku sayang, Juki masih ngantuk, bentar lagi ye. Juki lanjutin tidurnya dulu. Gara-gara Emak nih, Juki kagak jadi dapet kambing. Lumayan pan kambingnye,  Juki bisa jual di pasar kramat. Terus duitnya buat Emak dah, Mantap kan, Mak?” balas Juki sambil  nyegir lebar dan menarik kembali sarungnya menutupi mukanya.
 “Juki… anak Emak yang cakep, tulung Emak sayang, ambilin kayu bakar, ya Nak, pan kita mau makan, lu laper, kan?” rayu emak sambil menarik sarung Juki agar muka Juki keliatan.

Akhirnya, Juki bangun juga dari tidurnya sambil setengah kesal. Juki sudah lama ditinggal bapaknya. Hanya emaknya yang selalu menemaninya di kala ia sedih ataupun senang. Emak baginya sekaligus bapak buatnya.
“Emak, Juki cuci muka dulu ye, nanti Juki segera ke hutan mencari kayu bakar, dah,” jawab Juki sambil bangun dari dipan kemudian ia pun lanjut menuju sumur.
Emak duduk di tepi dipan dengan mata yang tertuju ke punggung Juki. Anak laki satu-satunya belum juga berubah. Harapan ia agar Juki menjadi laki-laki yang bertanggung jawab belum terlihat. Emak Jenab merenung, “Salahkah aku mendidik anakku, Tuhan?”
Emak Jenab tak pernah berhenti berdoa kepada yang Maha Kuasa agar anaknya akan menjadi anak yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan bagi agama, nusa dan bangsa.


Tak berapa kemudian.
“Emak…Juki berangkat, ye,” pamit Juki sambil mencium punggung tangan emak Jenab dan tak lupa membawa kapak kesayangannya.
Marjuki dengan perawakan yang tegap, dadanya bidang, wajahnya bersih sempurna untuk kategori laki-laki betawi, tetapi sayang malasnya tidak ketulungan. Kerjaannya hanya tidur dan tidur. Hanya perkataan emaknya saja ia mau dengar, sedangkan orang lain tak pernah ia hiraukan.


Sungguh terik hari itu, matahari memang sedang tidak bersahabat rupanya. Dengan langkah gontai, malas-malasan, Marjuki berjalan ke arah hutan. Sepanjang perjalanan Marjuki menggerutu.
”Huh…emak, kenapa sih seneng banget gangguin kesenengan orang. Cari kayu bakar pan bisa sendiri, kenape aye lagi, aye lagi,  kan aye lagi enak-enak mimpi, ada aje gangguanye.” Marjuki terus ngedumel sepanjang perjalanan sampai akhirnya ia tiba di hutan. 

Hutan itu sungguh gelap, pohonnya besar-besar, lebat bahkan matahari saja tak kebagian mengintip di dalamnya. Sebenarnya Marjuki takut jika masuk hutan ini. Kata orang kampung, hutan ini angker.  Suka banyak suara-suara aneh yang muncul bila lewat magrib. Hutan ini tempat bermainnya para anak jin. Marjuki bergidik teringat cerita itu. Cepat-cepat Marjuki melangkahkan kakinya.
Marjuki melihat sekelilingnya, pohon semuanya, ditambah lagi semak belukar yang tinggi-tinggi, tak ketinggalan rawa yang gelap. Sungguh bukan pemandangan yang mengasyikan.  Marjuki berjalan lagi ke dalam hutan, dilihatnya ada pohon besar yang gagah seakan menantang Marjuki jika berani mendekatinya untuk ditebang dan tak jauh dari sana ada sungai yang mengalir jernih airnya. Hanya di sini tempat yang disukai oleh Marjuki, tenang, tak ada yang mengganggu, hanya alunan gemericik air.



“Hmmmm, tidur bentar, ah..enak niy kayaknya di bawah pohon sambil nikmatin sepoi-sepoi angin, kalau di rumah pan digangguin emak mulu,” pikir Marjuki.
Hanya dengan hitungan menit, Marjuki pun sudah terlelap.
Kali ini sungguh berbeda, seolah dibuai oleh alam, Marjuki nyenyak sekali tidurnya. Tiba-tiba, terdengar dentuman keras sekali dan selang beberapa detik kemudian terdengar suara seorang perempuan sedang memohon minta ampun. Marjuki terbangun. “Apa itu?”
Marjuki penasaran, ia segera bangkit dari duduknya dan berlari ke arah sumber suara yang didengarnya. Ia kaget sekali. Ternyata suara itu adalah suara emaknya.
“Ampun, Datok…jangan hukum anak saya, anak saya tidak salah. Saya yang salah. Saya telah gagal mendidiknya. Ampun Datok,” sembah Emak Jenab kepada laki-laki tua yang mengenakan destar hitam dengan dihiasi benang emas (semacam ikat kepala) dan baju penghulu  berwarna hitam, sarawa hitam  (semacam celana semata kaki), kemudian dilengkapi dengan sesamping  di atas dengkul sedikit (sejenis kain sarung), serta dikencangkan oleh cawek (ikat pinggang).
“Kenapa kamu yang minta ampun, sedangkan anakmu saja tidak peduli denganmu, ia tak pernah membantu kamu, selama ini hanya kamu saja yang bekerja mati-matian. Siang malam, mulai dari pekerjaan rumah yaitu masak, mencuci sampai dengan pekerjaan di ladang, sedangkan anakmu hanya tidur saja. Untuk apa kau pertahankan anak seperti itu, lebih baik anakmu buat menemani aku saja di sini. Biarkan ia berada di sini, di hutan ini. Kau lihat, di sana! Anakmu sedang tidur dengan sangat nyaman. Dia  lupa  dengan  tugas  yang  telah  engkau berikan!” suara Datok itu menggelegar sambil tangannya menunjuk ke arah tempat Marjuki tadi tidur.
“Ia nyaman berada di sini, biarlah ia kuberi kerajaan di sini, ia tak perlu bekerja membantuku, ia akan kutempatkan di dalam rawa itu, kehangatan rawa yang akan selalu menjaganya dan ia pun akan selalu tertidur di dalamnya tanpa diganggu siapa pun.” lanjut Datok.
“Tidak……!!! Tidak, Datok, tidak…!!!” jerit Emak Jenab
“Jangan kau masukkan anakku ke rawa yang gelap itu, Aku sangat menyayangi anakku, Hanya dia satu-satunya milikku, Aku berjanji akan membuatnya berubah. Aku berjanji Datok,” jerit campur tangis yang mengiba Emak Jenab kepada Datok itu.
Melihat semua kejadian itu, Marjuki seperti tersihir, ia tak bisa berbuat apa-apa, ia berdiri saja dari balik semak belukar yang tinggi. Hatinya ingin segera berlari dan memeluk emak kesayangannya. Namun, ia tak mampu. Ia tak beranjak sesentipun dari tempatnya berdiri. Matanya seakan tak mampu berkedip, mulutnya setengah terbuka, 



Ia hanya mampu berkata dalam pikirnya. 
 “Emak … maafkan Juki. Jangan  biarkan  orang  itu membawa Juki. Juki nggak mau. Juki takut. Juki janji akan selalu membantu emak. Juki akan menjadi anak yang berbakti sama Emak,”
“Hai!!! Jenab, tahukah kamu, rawa itu adalah tempat anak-anak yang tak berguna, anak-anak yang hidupnya selalu bergantung pada orang lain, anak-anak malas dan anak-anak manja. Mereka kumasukkan ke sana dan akan kugantikan dengan anak-anak baru sebagai pengganti anak-anak yang hilang itu,” jelas Datok, “begitu juga denganmu, akan kukirimkan anak yang baru sebagai penggantinya, anak yang kau inginkan. Bagaimana Jenab?”
“Tidak Datok, Aku tidak mau anak yang baru. Biarkan Marjuki menjadi anakku, bagaimanapun dia, aku tetap menyayanginya,” tangis emak Jenab.
“Baiklah, Jenab, kalau begitu aku akan biarkan untuk saat ini. Namun, bila aku lihat, ia tidur berlama-lama di daerahku hingga lupa tugasnya. Aku akan membawanya untuk menemaniku di sini!” kata Datok yang dbarengi dengan suara dentuman.
Marjuki terbangun kaget, “Hah, rupanya aku bermimpi tadi, mimpi yang menyeramkan, aku tak mau tinggal di sini, berada dalam rawa yang gelap, tidakkk!!,”
Marjuki langsung bergegas bangun. Ia ingat bahwa ia diberi tugas oleh emaknya  untuk mencari kayu bakar. Marjuki  ingin segera pulang, ingin memeluk emaknya yang begitu melindungi dan sayang padanya. Marjuki berjalan dengan langkah yang gagah, ia mencari kayu bakar untuk emaknya. 
Akhirnya, Marjuki pun berhasil mengumpulkan kayu bakar yang banyak, cukup untuk persediaan selama satu minggu. Marjuki senang, ia yakin emaknya akan bangga melihat hasil pekerjaannya kali ini. Dilihatnya kayu-kayu bakar itu dan diikatnya. Kemudian, dia letakkan di punggungnya. Marjuki berjalan pulang menuju ke rumah.
Ketika Marjuki kembali melawati pohon-pohon besar, semak- semak belukar yang tinggi, bulu kuduknya merinding. Pohon-pohon yang lebat itu seolah-olah hendak menangkapnya dan memeluknya erat. Cabang-cabang pohon dan rantingnya seperti tangan dan kuku-kuku yang tajam yang siap menusuk tubuhnya. Sungguh menyeramkan. 
Marjuki percepat langkahnya, tiba-tiba menginjak batu dan tubuhnya tak mampu menahan, ia pun terjatuh. Tepat di depannya ia melihat seperti makam. Ia teringat mimpinya tadi.
“Mungkin ini kuburan Datok tadi, iiihhh… serem,” bangkit Marjuki buru-buru dan setengah berlari ia menuju ke rumahnya.  
Sampailah Marjuki di rumahnya, ia berlari terus dan lupa bahwa ia sedang membawa kayu bakar yang banyak. Ia tak merasakan berat bawaannya. Di alam pikirnya ia ingin segera menemui emaknya dan memeluknya.
“Emakkkkk…Juki pulang….!!” teriak Juki.
Emak Jenab mendengar suara anaknya segera menghambur keluar ingin segera menyambut anak semata wayangnya.
“Anakku, Juki,,,kudengar dari suaramu, semangat sekali, ada apa, Nak?” sambil emak membantu Marjuki mengambil kayu bakar dari punggung Marjuki.
“Emak, tadi ke mana, apakah Emak tadi menyusul Juki ke hutan?” tanya Marjuki dengan masih napas memburu.
“Tidak Nak, Emak di rumah aja kok. Memang kenapa? Wah…kayu-kayu ini banyak sekali Juki, ini cukup untuk seminggu. Juki hebat sekali kamu. Nak, Emak bangga padamu!” dengan mata berbinar-binar emak Jenab menatap hasil pekerjaan Marjuki.
“Juki sayang, emak juga sudah masak makanan kesayanganmu, yaitu, semur jengkol, yuk kita makan, emak sudah tunggu Juki dari tadi. Kamu pasti sudah laper. Sekarang, segera kamu letakkan kayu-kayu bakar itu di belakang, dan kamu cuci tangan, kita makan,” ajak emak.
Emak pun berlalu ke dalam rumah. Juki segera mengambil ikatan kayu bakar itu dan membawanya ke belakang rumah. Kemudian dia mencuci kaki dan tangannya dengan air yang berada dalam tempayan di samping pintu belakang rumah. Setelah selesai, segera ia masuk, di sana emaknya sudah menunggu. Marjuki segera menghampiri emaknya dan duduk bersila di atas bale. Ia mengambil nasi, tumis genjer, dan semur jengkol kesukaannya.
“Emak, tadi di hutan Juki sempet tidur, Juki mimpi melihat laki-laki  dengan  pakaian bagus dan emak juga ada di situ,” sambil makan
Juki bercerita tentang mimpinya, Emak Jenab mendengarkan dengan saksama cerita Marjuki.
“Terus, Mak, tau gak pas pulangnya, Juki jatoh eh depan Juki kayak ada makam gitu, serem, Juki jadi inget laki-laki itu,” Akhir cerita Juki bersamaan dengan berakhir pula Juki makan.
“Hmmm, kamu menemukan makam Datok Tember, rupanya,” kata Emak.
“Siapa dia, Mak?” tanya Marjuki dengan mulut penuh makanan.
“Datok Tember adalah orang Minang yang tinggal di tanah betawi. Dia orang paling kaya di kampung. Dia punya anak laki-laki dan ia sangat sayang pada anaknya itu. Suatu hari ia sedang berjalan-jalan dengan anaknya di hutan lebat yang kamu  datangi tadi. Anaknya terpeleset dan masuk ke rawa-rawa itu. Rawa itu adalah rawa penghisap. Anak lelakinya pun terhisap ke rawa itu.  Datok Tember tidak bisa menyelamatkan anaknya. Datok Tember sedih sangat luar biasa. Datok Tember hidup, tetapi raganya telah mati, seperti hidup segan mati tak mau. Akhirnya, Datok Tember pun meninggal. Makamnya dibuat di sebelah rawa itu,” cerita Emak.
Marjuki memeluk tubuh renta emaknya dan ia berkata,”Juki sayang Emak, Juki janji akan selalu membantu Emak.”
Emak Jenab tersenyum mendengar perkataan Marjuki sambil mengusap kepala Marjuki.
Sejak saat itu Marjuki benar-benar telah berubah, ia pun menjadi pemuda yang rajin dan bertanggung jawab. Emak bangga kepada Marjuki, dan bukan hanya Emak Jenab saja yang bangga, melainkan orang-orang kampung pun ikut senang dan bangga kepada Marjuki.
_______________
Kini hutan itu dikenal dengan daerah Tebet, Tebet artinya daerah berupa rawa-rawa dan semak belukar yang menyerupai hutan lebat atau dapat dikatakan rimbun. Bagi orang Melayu menyebut lebat adalah Tebat.
Namun, Tebet di masa kini bukan lagi rawa-rawa becek atau semak belukar, melainkan pemukiman penduduk, perkantoran serta banyak distro yang menjual berbagai model pakaian sebagai gambaran gaya hidup anak-anak muda metropolitan.

1 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html